Beranda | Artikel
Standarisasi Harga
Senin, 25 Juli 2011

STANDARISASI HARGA DAN MONOPOLI

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Bagaimana pendapat anda mengenai masalah perdagangan di negara kita, dimana pemerintah mengharuskan pedagang untuk menjual barang dagangan dengan harga yang ditentukan (standirisasi harga), khususnya pada bahan makanan. Harga ini jelas menzhalimi penjual, karena harga ini sudah ditentukan dari sejak beberapa tahun yang lalu, sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh penjual terlalu tinggi jika dibandingkan dengan harga tersebut, sehingga keadaan tersebut mendorong para pedagang untuk melakukan monopoli dan hanya menjualnya kepada orang yang mau dengan harga dua kali lipat, atau menimbun dan menyembunyikannya dari pasaran. Di sisi lain, yang demikian itu juga merupakan tindakan menzhalimi pembeli. Lalu bagaimana seharusnya sikap pembeli terhadap para penimbun barang tersebut, apakah pembeli itu boleh bermuamalah dengan mereka dalam keadaan terpaksa? Khususnya, sekarang ini sebagian besar barang-barang penting banyak yang ditimbun, sedang pembeli tidak dapat berbuat apa-apa kecuali membeli harga yang ditentukan oleh penjual atau mencari amannya saja. Tetapi, tindakan yang terakhir ini tidak berarti apapun bagi orang lain dan tidak menghilangkan kezhaliman dari diri mereka.

Jawaban
Jika para pelaku pasar, misalnya para pedagang dan yang semisalnya meninggikan harga untuk mencari keuntungan sendiri, lalu pemerintah memberikan batasan harga yang adil bagi semua barang, dalam rangka memberi keadilan antara penjual dan pembeli dan berdasarkan pada kaidah umum, yaitu kaidah yang menyebutkan :”Mengambil yang baik dan meninggalkan yang bisa menimbulkan kerusakan”, dan jika terjadi persekongkolan dari mereka, serta naikya harga itu disebabkan oleh tingginya permintaan dan minimnya barang, tanpa adanya muslihat, maka pemerintah tidak perlu membatasi harga, tetapi membiarkan rakyat bergerak bebas, dimana Allah memberi rizki kepada mereka melalui sebagian mereka atas sebagian lainnya. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka para pedagang tidak boleh menaikkan harga sebagai tambahan dari penghasilan yang biasa mereka terima, bukan karena standarisasi harga.

Mengenai hal tersebut, dapat disebutkan apa yang diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, dimana dia bercerita, “Pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, harga barang pernah mengalami kenaikan yang sangat tinggi, lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah, andai saja engkau yang menentukan harga”, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ الله هُوَالْقَبِضُ الْبَاسِطُ الرِّازِقُ الْمُسَعِّرُ، وَإِنِّي لأَرْجُوْأَنْ أَلْقَى الله عَزَوَجَلَ وَلاَ يَطْلُبُنِي أَحَدٌ بِمَظْلَمَةِ ظَلَمتُهَا إِيَّاهُ فِيْ دَمٍ وَلاَ مَالٍ

Sesungguhnya Allah-lah yang menyempitkan dan melapangkan rizki, Pemberi rizki sekaligus Pemberi harga. Dan sesungguhnya aku sangat berharap bisa menemui Allah Azza wa Jalla dan tidak ada seorangpun menuntutku atas suatu kezhaliman yang pernah aku perbuat kepadannya, baik itu menyangkut darah maupun harta[1]

Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan dia menilainya shahih. Demikian juga hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dimana dia berkata, “Ada seseorang yang datang seraya berkata :

يَا رَسُولُ الله : سَعِّرْ، فَقَالَ : بَلِ ادْعُوالله، ثُمَّ جَاءَ رَجُلٌ آخَرُ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ : سَعِّرْ، فَقَالَ بَلِ الله يُخْفِضُ وَ يَرْفَعُ

Wahai Rasulullah, tentukan harga; Beliau menjawab, ‘Tetapi berdoalah kepada Allah’. Kemudian ada orang lain lagi datang dan berkata, ‘Wahain Rasulullah, tentukan harga’. Beliaupun bersabda, ‘Tetapi hanya Allah yang menurunkan dan yang meninggikan[2]

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Jika seorang muslim menyimpan barang dagangan di rumah untuk waktu sampai berbulan-bulan, padahal peredaran barang ini di negara kami sangat minim, seperti misalnya beras dan minyak samin. Apakah boleh bagi seorang muslim menyimpan barang tersebut dan berapa batas maksimal penyimpanan barang itu?

Jawaban.
Tidak diperbolehkan menimbun barang di saat orang-orang sedang membutuhkannya, yang biasa disebut dengan monopoli. Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

“Tidaklah seseorang itu memonopoli melainkan ia berdosa”[3]
[Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa-i dan Ibnu Majah]

Sebab hal itu dapat mencelakakan kaum muslimin. Tetapi, jika orang-orang sedang tidak membutuhkan, maka diperbolehkan menyimpannya sehingga orang-orang membutuhkannya. Dan setelah itu, hendaklah dia menyediakan untuk mereka dalam rangka mencegah kesulitan dan bahaya dari mereka. Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa masa diperbolehkannya menyimpan barang itu tergantung pada kebutuhan manusia akan barang yang disimpan, baik dalam waktu lama maupun sebentar.

[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke-1 dan ke-2 dari Fatwa Nomor 19446. . Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_______
Footnote
[1] HR Ahmad III/156 dan 286, Abu Dawud III/731 nomor 3451, At-Tirmidzi III/606 nomor 1314, Ibnu Majah II/741 dan 742 nomor 220, Ad-Darimi II/249, Ibnu Hibban XI/307 nomor 4935, Ath-Thabari V/288 nomor 5623 (Tahqiq : Ahmad Syakir), Ath-Thabrani I/261 nomor 761 hadits yang senada, Al-Baihaqi dalam As-Sunan VI/269 dan dalam kitab Al-Asmaa was Shifaat I/169 (Tahqiq : Al-Hasyidi)
[2] HR Ahmad II/337, 372, Abu Dawud III/731 nomor 3450, Abu Ya’la XI/401 nomor 6521, Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Ausath I/136 nomor 427 (Terbitan : Darul Haramain, Kairo), Al-Baihaqi VI/29, Al-Baghawi VIII/177 dengan nomor 2126
[3] HR Ahmad III/453 dan 454, V/400, Muslim XI/43 dan 44 (Muslim bi Syarh an-Nawawi), Abu Dawud III/728 nomor 3447, At-Tirmidzi III/567 nomor 1267, Ibnu Majah II/728 nomor 2154, Ad-Darimi II/249, Ibnu Abi Syaibah VI/102, Abdurrazzaq VIII/203 nomor 14889, Ibnu Hiban XI/308 nomor 4936, Al-Baihaqi VI/29,30, Al-Baghawi VIII/178 nomor 2127


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3133-standarisasi-harga.html